ANTARA PEMBERDAYAAN PETERNAK DAN DEREGULASI
TATANIAGA SUSU
Oleh : Imam Thohari*)
Harga susu segar boleh dikatakan akan terjun bebas ketitik yang menghawatirkan bagi kelangsungan peternakan sapi perah di tanah air. Ini setelah PT Nestle memastikan menurunkan harga beli susu per 1 Mei 2009 dengan harga di tingkat koperasi Rp 3.785 menjadi Rp 3485 atau turun Rp 300 Surya 25/4/09), sebagai akibat menurunnya harga susu dunia. Harga susu dunia di pertengahan tahun 2007 seharga 5000 US Dolar/MT melorot dengan harga sampai 2000 US Dolar/MT (FAS USDA, 2009), sehingga peternak sapi perah saat ini seperti kena pukulan smackdown. Harga susu yang melorot dan peternak terus dihadapkan masalah yang tak bisa dihindari seperti biaya produksi yang cenderung terus meningkat, seperti biaya konsentrat yang terus meroket dengan kisaran Rp 1.600,00-Rp 2.000,00/kg. Padahal tahun 2006- 2007, harga konsentrat pada kisaran Rp 1.000,00-Rp 1.200,00/kg, yang berarti kenaikannya mencapai hampir 100%. Namun aneh, harga susu olahan IPS di pasaran modern di supermarket dan hupermart sejak Pebruari-April cenderung naik dengan kisaran 5-7% pada hampir semua merk, dan hanya satu merek yang harganya turun ke harga semula setelah naik sekitar 5%.
IPS Diuntungkan
Sebenarnya masalah harga susu lokal yang diterapkan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) pernah terjadi di tahun 1979, sampai-sampai ada aksi ”demo” buang susu ke kali oleh KUD SAE Pujon, namun pemerintah pusat cepat tanggap dengan munculnya SK tiga Menteri yang mengatur tataniga susu antara koperasi susu dengan IPS. Industri Pengolahan susu dengan anjloknya harga susu dunia saat ini diuntungkan berbagai macam segi, mulai dari Pemerintah menetapkan bea masuk (BM) 0% untuk komoditas susu padat melalui Peraturan Menteri Keuangan No.19/PMK.011/2009 yang mulai berlaku 13 Februari 2009; harga susu impor yang rendah; dan harga susu olahan yang dihasilkan IPS yang cenderung naik. Kondisi yang demikian yang paling tidak menikmati penurunan susu olahan (susu bubuk, susu kental manis dan produk-produk lain yang berbahan baku susu) adalah konsumen. Padahal konsumsi susu masyarakat Indonesia tergolong masih sangat rendah, hanya 8 liter/kapita/tahun, sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu, dan ini jauh dibandingkan dengan konsumsi susu negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura yang rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 100 liter/kapita/tahun. Persoalannya, pasar utama produksi susu nasional, dengan peternak sapi perah rakyat yang berjumlah sekitar 1,3 juta liter per hari dan hampir 90% disalurkan ke IPS. Ini berarti sekitar 10% saja susu lokal yang dipasarkan langsung ke konsumen dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Melihat posisi yang demikian, susu lokal tidak punya dayatawar (bargaining) dengan IPS, dengan alasan klasik yaitu kualitas susu lokal rendah dan harga yang lebih mahal.
Pemberdayaan Peternak
Peternak sapi perlu menata kembali manajemen agribisnisnya yang selama ini kurang diperhatikan mengingat peternakan di Indonesia tergolong peternak kecil (dalam segi modal maupun pengetahuan). Sebagai contoh bagaimana usaha pemeliharaan sapi perah yang ekonomis. Satu ekor sapi perah yang sedang berproduksi susu hanya dapat dibebani 0,40 Animal Unit (AU) sapi perah yang belum produktif. Satu ekor sapi perah dewasa = 1 AU, satu ekor yang berumur 1 – 2 tahun = 0,75 AU, satu ekor yang berumur 6 – 12 bulan = 0,50 AU, satu ekor yang berumur 3 – 6 bulan = 0,40 AU dan satu ekor pedet berumur di bawah 3 bulan = 0,25 AU (Shaw, 1970). Dengan demikian akan diketahui berapa ekor jumlah sapi perah yang belum produktif dapat dipelihara yang didasarkan kepada jumlah sapi-sapi perah induk yang sudah berproduksi susu agar usaha sapi perah yang dijalankan benar-benar ekonomis. Perhitungan yang demikian, peternak dapat memperkirakan jumlah sapi produktif, produksi susu yang dihasilkan, dan harga susu. Usaha pemeliharaan sapi perah baru akan mencapai ingkat yang paling ekonomis apabila persentase sapi-sapi perah induk, berkisar antara 70 – 80% (Siregar, 1996). Kurang ekonomisnya usaha pemeliharaan sapi perah pada umumnya dikarenakan persentase pemeliharaan sapi laktasi yang melebihi 80% dari keseluruhan sapi perah induk (Kusnadi, 2004).
Derugulasi Tataniaga Susu
Usaha peternakan mempunyai arti yang strategis termasuk peternakan sapi perah dalam mencerdaskan bangsa, yaitu mampu menyediakan pangan protein hewani asal ternak dan kegiatan ekonomi yang ditimbulkan, sehingga peternak memiliki daya beli. Namun kebijakan di bidang peternakan dimasa Otoda tampaknya tidak terfokus, yang barangkali sebagai akibat dimergernya dinas peternakan dengan bidang agrokomplek yang lain, tidak terkecuali di tingkat pusat. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah bagi subsektor peternakan terkadang kontraproduktif seperti pembebasan bea masuk susu impor, tanpa ada instrumen kebijakan yang melindungi usaha para peternak sapi perah dalam mengantisipasi turunnya harga susu.. Satu-satunya harapan peternak adalah GKSI yang merupakan wadah koperasi susu seluruh Indonesia. Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) mengajak melawan PT Nestle (Surya, 30/4/09). Bisa saja ”melawan” dan berhasil, namun akan lebih afdol kalau bergandengtangan dengan pemerintah seperti yang terjadi tahun 1980, dimana GKSI berhasil mengusulkan kepada Menteri Muda Urusan Koperasi supaya meninjau kembali harga susu yang telah ditetapkan IPS. Dan akhirnya harga susu disepakati menjadi Rp 165 perkg dengan standar fat 3,0% mulai tahun 1980.
Kondisi yang demikian sebaiknya pemerintah melakukan deregulasi dengan tidak memberikan bea masuk susu impor dalam APBN 2009, sebagai tarif barrier terhadap harga susu impor, yang sudah dipastikan bahwa tanpa pembebasan bea masuk, IPS akan melakukan impor bahan baku dan menangguk keuntungan yang besar. Strategi lain adalah pemerintah memberikan stimulus berupa subsidi bagi peternakan sapi terhadap harga konsentrat dan bahan baku konsentrat misalnya white pollard dan pemerintah harus berani melakukan kebijakan yang boleh dikata tidak populis, dengan memberlakukan rasio impor susu dengan menyerap susu segar dalam negeri seperti yang terjadi di tahun 1979.
TATANIAGA SUSU
Oleh : Imam Thohari*)
Harga susu segar boleh dikatakan akan terjun bebas ketitik yang menghawatirkan bagi kelangsungan peternakan sapi perah di tanah air. Ini setelah PT Nestle memastikan menurunkan harga beli susu per 1 Mei 2009 dengan harga di tingkat koperasi Rp 3.785 menjadi Rp 3485 atau turun Rp 300 Surya 25/4/09), sebagai akibat menurunnya harga susu dunia. Harga susu dunia di pertengahan tahun 2007 seharga 5000 US Dolar/MT melorot dengan harga sampai 2000 US Dolar/MT (FAS USDA, 2009), sehingga peternak sapi perah saat ini seperti kena pukulan smackdown. Harga susu yang melorot dan peternak terus dihadapkan masalah yang tak bisa dihindari seperti biaya produksi yang cenderung terus meningkat, seperti biaya konsentrat yang terus meroket dengan kisaran Rp 1.600,00-Rp 2.000,00/kg. Padahal tahun 2006- 2007, harga konsentrat pada kisaran Rp 1.000,00-Rp 1.200,00/kg, yang berarti kenaikannya mencapai hampir 100%. Namun aneh, harga susu olahan IPS di pasaran modern di supermarket dan hupermart sejak Pebruari-April cenderung naik dengan kisaran 5-7% pada hampir semua merk, dan hanya satu merek yang harganya turun ke harga semula setelah naik sekitar 5%.
IPS Diuntungkan
Sebenarnya masalah harga susu lokal yang diterapkan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) pernah terjadi di tahun 1979, sampai-sampai ada aksi ”demo” buang susu ke kali oleh KUD SAE Pujon, namun pemerintah pusat cepat tanggap dengan munculnya SK tiga Menteri yang mengatur tataniga susu antara koperasi susu dengan IPS. Industri Pengolahan susu dengan anjloknya harga susu dunia saat ini diuntungkan berbagai macam segi, mulai dari Pemerintah menetapkan bea masuk (BM) 0% untuk komoditas susu padat melalui Peraturan Menteri Keuangan No.19/PMK.011/2009 yang mulai berlaku 13 Februari 2009; harga susu impor yang rendah; dan harga susu olahan yang dihasilkan IPS yang cenderung naik. Kondisi yang demikian yang paling tidak menikmati penurunan susu olahan (susu bubuk, susu kental manis dan produk-produk lain yang berbahan baku susu) adalah konsumen. Padahal konsumsi susu masyarakat Indonesia tergolong masih sangat rendah, hanya 8 liter/kapita/tahun, sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu, dan ini jauh dibandingkan dengan konsumsi susu negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura yang rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 100 liter/kapita/tahun. Persoalannya, pasar utama produksi susu nasional, dengan peternak sapi perah rakyat yang berjumlah sekitar 1,3 juta liter per hari dan hampir 90% disalurkan ke IPS. Ini berarti sekitar 10% saja susu lokal yang dipasarkan langsung ke konsumen dalam bentuk susu segar atau susu pasteurisasi. Melihat posisi yang demikian, susu lokal tidak punya dayatawar (bargaining) dengan IPS, dengan alasan klasik yaitu kualitas susu lokal rendah dan harga yang lebih mahal.
Pemberdayaan Peternak
Peternak sapi perlu menata kembali manajemen agribisnisnya yang selama ini kurang diperhatikan mengingat peternakan di Indonesia tergolong peternak kecil (dalam segi modal maupun pengetahuan). Sebagai contoh bagaimana usaha pemeliharaan sapi perah yang ekonomis. Satu ekor sapi perah yang sedang berproduksi susu hanya dapat dibebani 0,40 Animal Unit (AU) sapi perah yang belum produktif. Satu ekor sapi perah dewasa = 1 AU, satu ekor yang berumur 1 – 2 tahun = 0,75 AU, satu ekor yang berumur 6 – 12 bulan = 0,50 AU, satu ekor yang berumur 3 – 6 bulan = 0,40 AU dan satu ekor pedet berumur di bawah 3 bulan = 0,25 AU (Shaw, 1970). Dengan demikian akan diketahui berapa ekor jumlah sapi perah yang belum produktif dapat dipelihara yang didasarkan kepada jumlah sapi-sapi perah induk yang sudah berproduksi susu agar usaha sapi perah yang dijalankan benar-benar ekonomis. Perhitungan yang demikian, peternak dapat memperkirakan jumlah sapi produktif, produksi susu yang dihasilkan, dan harga susu. Usaha pemeliharaan sapi perah baru akan mencapai ingkat yang paling ekonomis apabila persentase sapi-sapi perah induk, berkisar antara 70 – 80% (Siregar, 1996). Kurang ekonomisnya usaha pemeliharaan sapi perah pada umumnya dikarenakan persentase pemeliharaan sapi laktasi yang melebihi 80% dari keseluruhan sapi perah induk (Kusnadi, 2004).
Derugulasi Tataniaga Susu
Usaha peternakan mempunyai arti yang strategis termasuk peternakan sapi perah dalam mencerdaskan bangsa, yaitu mampu menyediakan pangan protein hewani asal ternak dan kegiatan ekonomi yang ditimbulkan, sehingga peternak memiliki daya beli. Namun kebijakan di bidang peternakan dimasa Otoda tampaknya tidak terfokus, yang barangkali sebagai akibat dimergernya dinas peternakan dengan bidang agrokomplek yang lain, tidak terkecuali di tingkat pusat. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah bagi subsektor peternakan terkadang kontraproduktif seperti pembebasan bea masuk susu impor, tanpa ada instrumen kebijakan yang melindungi usaha para peternak sapi perah dalam mengantisipasi turunnya harga susu.. Satu-satunya harapan peternak adalah GKSI yang merupakan wadah koperasi susu seluruh Indonesia. Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) mengajak melawan PT Nestle (Surya, 30/4/09). Bisa saja ”melawan” dan berhasil, namun akan lebih afdol kalau bergandengtangan dengan pemerintah seperti yang terjadi tahun 1980, dimana GKSI berhasil mengusulkan kepada Menteri Muda Urusan Koperasi supaya meninjau kembali harga susu yang telah ditetapkan IPS. Dan akhirnya harga susu disepakati menjadi Rp 165 perkg dengan standar fat 3,0% mulai tahun 1980.
Kondisi yang demikian sebaiknya pemerintah melakukan deregulasi dengan tidak memberikan bea masuk susu impor dalam APBN 2009, sebagai tarif barrier terhadap harga susu impor, yang sudah dipastikan bahwa tanpa pembebasan bea masuk, IPS akan melakukan impor bahan baku dan menangguk keuntungan yang besar. Strategi lain adalah pemerintah memberikan stimulus berupa subsidi bagi peternakan sapi terhadap harga konsentrat dan bahan baku konsentrat misalnya white pollard dan pemerintah harus berani melakukan kebijakan yang boleh dikata tidak populis, dengan memberlakukan rasio impor susu dengan menyerap susu segar dalam negeri seperti yang terjadi di tahun 1979.
Komentar